“Ooh tentu. Aku disuguhi mangga Pertanggajiwa, asalnya dari Kahyangan”.
“Waaah rama itu malah cuma bikin ngiler saja. Tapi manis ma mangganya?” sekarang Gareng yang ganti nanya
“Maniiiiiss . . . . !!“
“Asin ma?” Tanya Bagong ngawur.
“Aaaassiiiinn”. Walau ngawur, Semar tetap menjawab.
“Mangga itu aku habis tiga butir”. Semar makin menambah-nambahi bualannya.
“Aduuh apa rama nggak inget aku diluaran yang kelaparan itu ma?” tanya Petruk yang perutnya makin keroncongan dan air liurnya menetes.
“Ngggaaak tuh. Kamu juga kalau dapat rejeki juga kamu telan sendiri. Ngapa saya harus ingat kamu?”
“Tapi aku kan anakmu to ma? Lumrahnya orang tua itu mesti ingat sama anak, begitu kan ma?”
“Emaaang, tapi bagaimana sifat anaknya. Aku nggak ingat kamu itu karena bagaimana tingkah lakumu”.
“Yang mana?” tanya Petruk membela diri.
“Yang itu. Kamu kenduri, orang lain diundang dioleh-olehi besekan, malah aku kamu lewati”. Petruk diam merasa salah. Pura pura tidak bersalah malah ia menanya lagi.
“Lha anu ma, minumannya kamu dikasih apa?”