Arjuna membuka matanya yang baru saja terpejam. Entah darimana Ki Lurah Semar datang dan sampai-sampai tiada diketahuinya beliau masuk kamar. Seperti tiba-tiba datang begitu saja. Arjuna yang tahu bahwa tidak mungkin Lurah Semar akan tiba-tiba seperti ini jika tak ada sesuatu hal yang mendesak.
Malam itu adalah malam ke empat setelah perayaan kembalinya Pandawa dari penyamaran selama 13 tahun di negeri Wirata. Masih teringat jelas bagaimana Prabu Yudhistira kalah main dadu dengan Prabu Duryudana yang mengakibatkan Pandawa bersama Drupadi harus pergi meninggalkan Amarta selama 13 tahun dan menyamar sebagai orang lain, tiada boleh seorang pun tahu akan penyamaran itu selama masa 13 tahun, dan jika ada yang mengetahui atau memergoki penyamaran itu, maka masa 13 tahun itu harus diulang. Sebuah masa yang berat yang baru saja dilalui oleh para Pandawa. Namun dari masa itu lah, mereka mendapatkan ilmu, pelajaran hidup, bahkan sekutu baru, yaitu negeri Wirata dengan 3 ksatrianya, Raden Arya Seta atau biasa dikenal sebagai Resi Seta, pembarep (anak pertama) Prabu Matswapati (Raja Wirata); lalu Raden Arya Utara yang merupakan anak kedua dari Prabu Matswapati, dia adalah penerus tahta Wirata karena Resi Seta enggan untuk mewarisi tahta karena memilih jalan sebagai seorang Resi; dan yang terakhir adalah Raden Wratsangka. Mereka adalah para ksatria yang akan membantu Pandawa kelak pada Baratayudha.
“Ada apa, Paman, malam-malam hujan begini?” tanya Arjuna yang baru saja mengambil posisi duduk, masih di ranjangnya.
“Gawat, Raden. Sebaiknya sekarang juga Raden Arjuna pergi ke Setragandamayit[6] (kerajaan alas lelembut, yang dipimpin Btari Durga).”
Arjuna terkejut mendengar pernyataan Kiai Semar tersebut.
“Setragandamayit? Hutan itu?!”