Di dalam hati Prabu Salya berdesakan perasaan antara nurani bersih – rasa kepatutan – dan hasrat untuk mendapatkan sesuatu. Apapun cara itu, bagi Salya, yang penting terlaksana. Kedua rasa yang saling bertentangan itu bergulung campur aduk, hingga sekian lama Prabu Salya hanya duduk tegak bagai arca yang terhiasi busana. Setelah menarik nafas panjang, dan menetapan hati, berkata Prabu Salya kepada putranya.
“Putraku Rukmarata !!”
“Daulat Rama Prabu”. Jawab Rukmarata yang sedari tadi menunduk diam menunggu perintah dari ramandanya.
“Semoga dewata memberikan ijin dan meluluskan apa yang menjadi kemauan Pamadi.
Selama aku melihat kemenakanku, Permadi, berdesakan rasa dalam dadaku. Alangkah gembira rasa hati ini, pasti juga termasuk hati ibumu, bila kita bisa mendapatkan menantu Permadi, anak Pandu. Itu yang pertama.
Kedua, bila dilihat dari kenyataan bahwa dia bisa menjadikan kraton Mandaraka lebih indah, lagi pula menurut hitungan, Pamadi itu adalah salah satu satria yang terbiasa melakukan darma tanpa pamrih.
Ketiga, adalah kita ini bisa diibaratkan berusaha hendak mengumpulkan daging yang terpisah dan menautkan tulang yang renggang. Oleh sebab itu ada suatu cara yang bakal aku lakukan. Heh Rukmarata!”
“Daulat Rama Prabu, hamba akan setuju saja dengan pendapat Rama Prabu apapun itu. Putra juga berharap, semoga kehendak Rama Prabu dapat terlaksana”. Rukmarata telah paham apa yang menjadi jalan pikiran ramandanya. Dan benarlah, ketika Prabu Salya kali ini mengutus dirinya untuk memanggil kedua kakak perempuannya.
“Hari ini aku kepengin kamu memanggil kedua kakak perempuanmu, Surtikanti dan Banuwati. Segeralah panggil keduanya”.
“ Baiklah, titah rama prabu akan putara laksanakan.“ Tanpa ada bantahan lagi, Rukmarata segera lengser dari hadapan ramandanya.
Demikianlah, tak lama kemudian Rukmarata telah kembali kehadapan Prabu Salya. Rukmarata telah datang dengan diiring oleh kedua kakaknya Surtikanti dan Banuwati. Surtikanti adalah putra kedua Prabu Salya, berwajah ruruh kalem. Wanita ayu, dan sosoknya sedang. Bila berbaur dengan wanita yang berbadan tinggi ia tidak kelihatan pendek, dan sebaliknya bila ada diantara wanita yang berbadan pendek, ia tidak kelihatan kelewat tinggi. Kulitnya kuning langsat bersih bening bagaikan emas yang baru saja disepuh. Dengan sedikit senyum, cenderung serius. Ia berjalan sebelah kanan mengiring adik lelakinya.
Disebelah kiri Rukmarata, Banuwati berjalan dengan langkah gemulai. Sebagaimana kakaknya, Banuwati juga mempunyai paras yang demikian cantik. Bahkan ada sedikit kelebihannya bila dibanding dengan Surtikanti. Gadis putri Prabu Salya yang satu ini memang begitu kenes dan periang. Senyumnya selalu merekah dan matanya yang bulat agak liar dan dinaungi bulu mata lentik, membuat pria siapapun yang terkena kerlingannya seakan runtuh jantungnya. Setiap ucapan yang keluar dari bibirnya terdengar begitu manja dan mengundang perhatian siapapun baik wanita apalagi pria. Memang, putri Prabu Salya yang satu ini memiliki daya tarik kewanitaan yang begitu menakjubkan. Demikian juga selera busananya yang tinggi, walau sebenarnya kulit beningnya dapat membuat semua warna masuk tertata dalam sosoknya yang sintal.
Dan ketika ketiga putranya telah duduk dihadapan ramandanya, dengan senyum bangga, kali ini sejenak melupakan kesedihan hatinya. Ia melihat anak-anak wanitanya seperti halnya memandang asrinya kembang-kembang warna warni penghias istana Mandaraka. Maka kemudian berkata Prabu Salya.
“Anakku Surtikanti, dan Banuwati. Hmmm . . . . . disamping kebahagiaan yang menggunung dalam dadaku ini melihat keberadaanmu berdua, bagimu sekalian juga aku melihat ada kebahagian yang terhampar dihadapanmu, seperti ujud dari turunnya wahyu sejati”.
Di dalam hati Prabu Salya berdesakan perasaan antara nurani bersih – rasa kepatutan – dan hasrat untuk mendapatkan sesuatu. Apapun cara itu, bagi Salya, yang penting terlaksana. Kedua rasa yang saling bertentangan itu bergulung campur aduk, hingga sekian lama Prabu Salya hanya duduk tegak bagai arca yang terhiasi busana. Setelah menarik nafas panjang, dan menetapan hati, berkata Prabu Salya kepada putranya.“Putraku Rukmarata !!” “Daulat Rama Prabu”. Jawab Rukmarata yang sedari tadi menunduk diam menunggu perintah dari ramandanya.“Semoga dewata memberikan ijin dan meluluskan apa yang menjadi kemauan Pamadi. Selama aku melihat kemenakanku, Permadi, berdesakan rasa dalam dadaku. Alangkah gembira rasa hati ini, pasti juga termasuk hati ibumu, bila kita bisa mendapatkan menantu Permadi, anak Pandu. Itu yang pertama.Kedua, bila dilihat dari kenyataan bahwa dia bisa menjadikan kraton Mandaraka lebih indah, lagi pula menurut hitungan, Pamadi itu adalah salah satu satria yang terbiasa melakukan darma tanpa pamrih. Ketiga, adalah kita ini bisa diibaratkan berusaha hendak mengumpulkan daging yang terpisah dan menautkan tulang yang renggang. Oleh sebab itu ada suatu cara yang bakal aku lakukan. Heh Rukmarata!” “Daulat Rama Prabu, hamba akan setuju saja dengan pendapat Rama Prabu apapun itu. Putra juga berharap, semoga kehendak Rama Prabu dapat terlaksana”. Rukmarata telah paham apa yang menjadi jalan pikiran ramandanya. Dan benarlah, ketika Prabu Salya kali ini mengutus dirinya untuk memanggil kedua kakak perempuannya. “Hari ini aku kepengin kamu memanggil kedua kakak perempuanmu, Surtikanti dan Banuwati. Segeralah panggil keduanya”. “ Baiklah, titah rama prabu akan putara laksanakan.“ Tanpa ada bantahan lagi, Rukmarata segera lengser dari hadapan ramandanya.Demikianlah, tak lama kemudian Rukmarata telah kembali kehadapan Prabu Salya. Rukmarata telah datang dengan diiring oleh kedua kakaknya Surtikanti dan Banuwati. Surtikanti adalah putra kedua Prabu Salya, berwajah ruruh kalem. Wanita ayu, dan sosoknya sedang. Bila berbaur dengan wanita yang berbadan tinggi ia tidak kelihatan pendek, dan sebaliknya bila ada diantara wanita yang berbadan pendek, ia tidak kelihatan kelewat tinggi. Kulitnya kuning langsat bersih bening bagaikan emas yang baru saja disepuh. Dengan sedikit senyum, cenderung serius. Ia berjalan sebelah kanan mengiring adik lelakinya.Disebelah kiri Rukmarata, Banuwati berjalan dengan langkah gemulai. Sebagaimana kakaknya, Banuwati juga mempunyai paras yang demikian cantik. Bahkan ada sedikit kelebihannya bila dibanding dengan Surtikanti. Gadis putri Prabu Salya yang satu ini memang begitu kenes dan periang. Senyumnya selalu merekah dan matanya yang bulat agak liar dan dinaungi bulu mata lentik, membuat pria siapapun yang terkena kerlingannya seakan runtuh jantungnya. Setiap ucapan yang keluar dari bibirnya terdengar begitu manja dan mengundang perhatian siapapun baik wanita apalagi pria. Memang, putri Prabu Salya yang satu ini memiliki daya tarik kewanitaan yang begitu menakjubkan. Demikian juga selera busananya yang tinggi, walau sebenarnya kulit beningnya dapat membuat semua warna masuk tertata dalam sosoknya yang sintal.Dan ketika ketiga putranya telah duduk dihadapan ramandanya, dengan senyum bangga, kali ini sejenak melupakan kesedihan hatinya. Ia melihat anak-anak wanitanya seperti halnya memandang asrinya kembang-kembang warna warni penghias istana Mandaraka. Maka kemudian berkata Prabu Salya.“Anakku Surtikanti, dan Banuwati. Hmmm . . . . . disamping kebahagiaan yang menggunung dalam dadaku ini melihat keberadaanmu berdua, bagimu sekalian juga aku melihat ada kebahagian yang terhampar dihadapanmu, seperti ujud dari turunnya wahyu sejati”.
正在翻譯中..