Mendung masih setia menemani dan menjadi tabir bagi sinar bulan, bintang tiada yang terlihat. Ratri (malam) semakin menunjukkan kesenduannya. Gerimis kecil menyertai mereka. Kilat masih berkedip-kedip tanpa bunyi di sela-sela langit dan menerangkan segala sisi hujan barang sejenak, sehingga Karna maupun Arjuna dapat saling melihat dengan jelas satu sama lain dalam kedipan itu.
“Apa yang kau lakukan di sini, Premadi?” tanya Karna. Dia masih saja memanggil Arjuna dengan nama kecilnya.
“Kakang sudah tahu apa yang akan aku lakukan di sini. Mana Duryudana? Apakah dia tidak berani pergi sendiri ke Setragandamayit?” Arjuna berniat menyindir Karna yang menjadi sesuruhan Duryudana. Karna sebenarnya tersinggung, namun kini dia lebih bisa mengendalikan diri. Dia terdiam. “Seperti sebuah kebetulan, kita selalu dipertemukan dalam berbagai kesempatan, Kakang.”
“Mengapa kau selalu ada dalam setiap tempat yang kutuju, Premadi?”
“Aku pun tak tahu!”
Teringat dalam benak mereka, ketika dulu Arjuna kebetulan menjumpai Karna yang sedang bertempur untuk merebut Awangga dengan para raksasa, juga ketika Karna berada di istana Ayodya untuk mengambil prasasti Prabu Ramawijaya. Mereka bertemu dalam berbagai kesempatan. Kini mereka bertemu lagi di Setragandamayit untuk tujuan yang sama.
“Seperti sebuah takdir. Sudahlah, simpan dulu permusuhan kita, Premadi.”
“Siapa yang musuhan? Saya tak merasa memusuhi Kakang dan para Kurawa.”
“Setelah 2 kali kalah dadu? Tiga belas tahun?”
“Saya tidak merasa memusihi kalian, Kakang. Mungkin sampeyan dan para kurawa yang merasa memusuhi kami.”
Keduanya terdiam dan saling memandang menaruh curiga dan waspada. Kilat-kilat masih berpendar dan berkedip tanpa suara, rintik hujan pun masih dalam batasan gerimis.
Mendung masih setia menemani dan menjadi tabir bagi sinar bulan, bintang tiada yang terlihat. Ratri (malam) semakin menunjukkan kesenduannya. Gerimis kecil menyertai mereka. Kilat masih berkedip-kedip tanpa bunyi di sela-sela langit dan menerangkan segala sisi hujan barang sejenak, sehingga Karna maupun Arjuna dapat saling melihat dengan jelas satu sama lain dalam kedipan itu.“Apa yang kau lakukan di sini, Premadi?” tanya Karna. Dia masih saja memanggil Arjuna dengan nama kecilnya.“Kakang sudah tahu apa yang akan aku lakukan di sini. Mana Duryudana? Apakah dia tidak berani pergi sendiri ke Setragandamayit?” Arjuna berniat menyindir Karna yang menjadi sesuruhan Duryudana. Karna sebenarnya tersinggung, namun kini dia lebih bisa mengendalikan diri. Dia terdiam. “Seperti sebuah kebetulan, kita selalu dipertemukan dalam berbagai kesempatan, Kakang.”“Mengapa kau selalu ada dalam setiap tempat yang kutuju, Premadi?”“Aku pun tak tahu!”Teringat dalam benak mereka, ketika dulu Arjuna kebetulan menjumpai Karna yang sedang bertempur untuk merebut Awangga dengan para raksasa, juga ketika Karna berada di istana Ayodya untuk mengambil prasasti Prabu Ramawijaya. Mereka bertemu dalam berbagai kesempatan. Kini mereka bertemu lagi di Setragandamayit untuk tujuan yang sama.“Seperti sebuah takdir. Sudahlah, simpan dulu permusuhan kita, Premadi.”“Siapa yang musuhan? Saya tak merasa memusuhi Kakang dan para Kurawa.”“Setelah 2 kali kalah dadu? Tiga belas tahun?”“Saya tidak merasa memusihi kalian, Kakang. Mungkin sampeyan dan para kurawa yang merasa memusuhi kami.”Keduanya terdiam dan saling memandang menaruh curiga dan waspada. Kilat-kilat masih berpendar dan berkedip tanpa suara, rintik hujan pun masih dalam batasan gerimis.
正在翻譯中..
![](//zhcntimg.ilovetranslation.com/pic/loading_3.gif?v=b9814dd30c1d7c59_8619)