Sejenak walau baru memulai pembicaraan, Salya berhenti berbicara memandang kedua putrinya bergantian. Surtikanti tetap menunduk sedang Banuwati dengan senyumnya memandang ayahandanya. Salya terseret ikut tersenyum melihat kemanjaan Banuwati. Terusnya.“Itu tidak lain adalah, bahwa aku telah menerima datangnya saudaramu, Permadi. Permadi itu perlu aku jelaskan dulu. Ia adalah putra dari Raja Astina dahulu, mendiang pamanmu Prabu Pandu Dewanata.
Terus apa sebab kamu berdua aku panggil? Begini, orang itu tak akan tahu kapan kebahagiaan itu bakal datang. Hari ini kamu berdua satu demi satu akan aku utus untuk mengajak mampir Pamadi, yang hari ini sudah mengatakan kesanggupannya mencari dimana hilangnya kakakmu Herawati.
Satu-satu dari kamu berdua hendaknya bisa merayunya dengan sikap mesra kalian Tariklah ia agar ia batal pergi mencari Herawati. Sebab menurut hitungan, masih banyak para orang yang kuat tenaganya dan awas mata hatinya, yang aku anggap dapat mencari keberadaan Herawati.
Tapi aku tahu watak Permadi yang kuat seperti mendiang ayahnya. Pasti ia dengan teguh akan tetap berangkat mencari kakakmu. Maka gagalkan maksudnya, jangan sampai Pamadi kukuh kemauannya. Ya kalau ia berhasil, kalau tidak, ia pasti akan malu kembali ke Mandaraka. Dan ini berarti, Mandaraka bakal kehilangan perhiasan yang indahnya tiada terkira”. Begitulah Salya telah menerangkan maksud hatinya dengan menguraikan kepada keduanya memakai bahasa yang menurutnya begitu jelas.
Namun Surtikanti, wanita yang mempunyai tata susila yang begitu genap, masih meragukan apa yang didengarnya. Maka ia dengan memberanikan diri menanyakan apa maksud dari perintah itu kembali.“ Rama, jadi apa yang harus hamba perbuat?”
“Ajaklah Permadi mampir di keputrenmu.” Jawab Prabu Salya tegas.
“Duh Rama, nista apa yang akan hamba sandang. Yang sudah lumrah dan sampai saat ini masih berlaku, yang harus mendahului adalah pria. Bila ada seorang wanita yang berani mengajak pria, walau ia adalah saudara sendiri, maka . . . . .
“Bagaimana? Bagaimana menurutmu . . . . ?!!” Belum lagi selesai Surtikanti menjelaskan, namun Prabu Salya sudah tahu arah pembicaraan Surtikanti. Surtikanti hendak menolak. Maka kata kata Surtikanti dipotongnya, kali ini lebih tegas.
Tetapi Surtikanti melanjutkan, “ . . . .bila ini terlihat oleh umum, apakah tidak jatuh martabat hamba dan wanita umumnya. Apakah hal ini malah akan menjatuhkan nama baik kami terlebih nama baik paduka rama Prabu. Terlebih Rama Prabu adalah . . . “
“Hayoh ajari aku . . . teruskan . . . . Salya kembali memotong. Ia mulai tidak senang, tetapi kemudian ia diam dan memberikan waktu untuk Surtikanti agar terus mengeluarkan unek-uneknya.
. . .terlebih hamba adalah putra raja, dan ajaran perbuatan yang sering Paduka katakan, langkah walau sejangkah, dan ucapan walaupun sekalimat, akan haruslah pantas diteladani oleh para kawula. Ya kalaulah hamba sendiri yang melakukan, bila kemudian melebar kepada kelakuan wanita-wanita lain di Mandaraka, artinya hamba telah menyebar racun.”