Konon, pertandingan ketangkasan antar murid-murid Durna akan diakhiri dengan pertunjukan kepandaian Arjuna dalam memanah. Arjuna sendirian, karena di antara bala Kurawa tidak ada yang mampu menyaingi kepandaiannya dalam memanah. Bahkan sang guru pun, konon, tidak sanggup menandingi Arjuna. Maka, jadilah pertunjukan tunggal tersebut semakin melambungkan nama satria panengah Pandawa tersebut.
Tapi, adalah Karna, yang melihat pertunjukan itu dengan gusar. Ia merasa telah menjadi satria yang sepandai Arjuna. Kemampuan memanah, yang didapatkannya dari mencuri-curi pelajaran Durna kepada Arjuna dan lalu dilatihnya secara otodidak, dirasakannya telah memadai untuk melawan Arjuna. Watak pendekarnya pun memanas, tidak tahan melihat sanjungan-sanjungan yang diberikan orang kepada Arjuna.
Karna adalah putra angkat dari kusir kerajaan Hastinapura, Adirata. Ia sebenarnya lahir dari Kunti juga, ibunda Pandawa, dengan ayah Batara Surya. Maka, sesungguhnya, dialah sang sulung Pandawa. Konon, saat itu Kunti ingin mengetahui khasiat mantra Aji Kunta Wekasing Rasa yang diajarkan gurunya, Begawan Druwasa. Ajian ini bila dibaca dapat menghadirkan dewa-dewa yang diinginkan oleh sang pemilik. Sehingga Kunti menggunakannya sambil membayangkan sinar matahari yang cemerlang. Batara Surya datang dan memberi Kunti seorang anak, yang kelak diberi nama Karna. Kepada Karna, kemudian Batara Surya membekali anak itu dengan anting-anting dan sebuah baju sakti yang tidak akan mampu ditembus senjata sakti apapun.
Kelak, ajian sakti Kunta Wekasing Rasa ini pula yang melahirkan para Pandawa. Yudhistira lahir ketika Kunti mengundang Batara Dharma, Bima oleh restu Batara Bayu, Arjuna oleh Batara Indra dan Nakula-Sadewa atas persetujuan Batara Aswin melalui rahim Dewi Madrim, istri Pandu yang kedua.
Masalahnya, tidak seperti ketika melahirkan Pandawa berlima, saat Karna harus lahir Kunti masih seorang perawan dalam pandangan masyarakat. Adakah seorang perawan layak mempunyai anak? Tentu tidak, karena itu adalah aib. Meskipun aib itu dihasilkan dari sekedar coba-coba atas sebuah keingintahuan. Meski aib itu pemberian seorang dewa sekalipun, aib tetaplah aib. Dan sekali arang tercoreng di dahi, orang tidak bakal lupa. Maka, atas saran seorang Begawan, Karna pun harus ‘dibuang’ untuk menutupi aib itu.
Dan seorang kusir, Adirata, yang sejak lama menginginkan mempunyai anak, menemukan seorang bayi terhanyut di aliran sungai Yamuna. Dibesarkannya bayi itu, dinamainya Karna, dan dihantarkannya menemui pengalaman hidup bersama Kurawa dan Pandawa.
Hingga, sampailah Karna pada hari itu. Dalam pertunjukan ketangkasan memanah yang melambungkan nama Arjuna. Tapi, keinginannya untuk bergaul dengan elit Pandawa dan Kurawa ternyata harus berawal dengan pahit. Arjuna menolak mentah-mentah tantangannya untuk beradu pandai. Karena, kata Arjuna, Karna hanya seorang anak kusir dari kasta sudra, kasta yang terendah. Mana mungkin seorang Sudra layak beradu kepandaian dengan seorang pangeran, hina Arjuna.
Saat itulah ia sungguh menyesali ke-Sudra-annya. Ia merutuki nasibnya. Bukankah kelahiran bukanlah sebuah pilihan baginya? Ataukah kelahiran adalah pilihannya? Mengapa ia harus dianiaya hanya karena kelahirannya? Batin Karna bergemuruh menahan amarah. Gemeretak giginya dan kepalan tangannya sanggup dilihat oleh siapapun juga di tengah lapang di mana perlombaan memanah antar murid Durna itu diselenggarakan.
Tapi, kabar gembira bagi Karna datang dari Prabu Suyudana. Begitu melihat bara kebencian dari mata Karna karena dihina Arjuna, Suyudana melihat Karna bisa diandalkan. Maka, diberinya Karna jabatan sebagai Adipati di sebuah negeri jajahan Kurawa bernama Awangga. Artinya, Karna adalah seorang ksatria dan berhak menantang Arjuna dalam lomba itu.
Bagi Karna, gelar itu adalah kegembiraan yang mengubah seluruh perjalanan hidupnya. Gelar itu telah mengangkat kembali mukanya yang semula tertekuk hina. Gelar itu membuatnya pantas bertanding dengan Arjuna, menjadikannya kelak sebagai senapati perang Kurawa di Kurusetra, yang kelak juga membuatnya terbunuh oleh Arjuna.
Sebuah kegembiraan yang bagi Karna merupakan berkah tiada tara, saat nasib hidupnya di posisi nadir terbawah.
Meskipun akhir pertandingan memanah itu tidak dapat diketahui siapa pemenangnya, Karna ataukah Arjuna, karena mereka berdua sama-sama kuat, bagi Kurawa, tidaklah penting. Mereka telah memenangkan pertempuran saat itu. Kesetiaan Karna telah mereka ikat dengan sebuah rasa malu dan harga diri yang terselamatkan.
*** *** ***
Sehingga Karna pun mengukir langit sejarah dengan sumpah setianya untuk membela Kurawa di Perang Bharatayudha nanti. Meskipun ia tahu siapa yang pantas menyandang gelar wakil kebenaran dalam perang itu, ialah Pandawa. Meskipun dengan sifat kesatrianya itu, tidaklah pantas baginya mendampingi Kurawa. Namun, Karna hanya ingin membalas budi pada orang yang pernah menolongnya. Dan terbukti, ia tahu bagaimana harus memegang janji.
Dan ia menjadi lakon cerita. Bukan hanya karena sumpah setianya kepada Kurawa, namun juga sumpahnya kepada dirinya sendiri. Ia pernah bersumpah, bahwa ia akan kabulkan setiap permintaan seorang brahmana kepadanya. Sumpah inilah yang ‘dimanfaatkan’ oleh Sang Indra dengan menyamar menjadi brahmana untuk meminta baju sakti Karna. Sebab, dengan baju sakti pemberian Dewa Surya itu, Karna kebal. Bahkan, panah sakti Pasopati Arjuna pun tidak akan dapat melukainya. Padahal, apa jadinya Bharatayuda jika Arjuna tidak dapat membunuh Karna? Apa jadinya jika malah sebaliknya?
Maka, jadilah Karna sebagai satria budiman yang menghiasi wajah Kurawa di Kurusetra. Seperti halnya Bisma, Durna dan Prabu Salya. Mereka adalah manusia-manusia kontroversial dengan pilihannya masing-masing. Karena, mungkin, mereka tahu bahwa di pangkal manapun mereka meletakkan pilihan, ujungnya tetap satu juga, takdir tetap akan terjadi. Asal saja mereka memilih dengan sebuah keyakinan yang terus terjaga.
Tapi, Karna tidaklah sama dengan Bisma dan Prabu Salya yang lantas mempersilahkan Pandawa mengetahui rahasia kematian mereka berdua. Bisma memberitahu Pandawa bahwa dirinya akan menemui ajal oleh seorang satria wanita yang membawa ruh Dewi Amba dalam dirinya, dialah Srikandi. Dan Prabu Salya bercerita kepada Nakula-Sadewa bahwa ia akan menemui ajalnya di tangan sang satria berdarah putih, Yudhistira.
Kematian, oleh Karna, dipapaknya dengan cara yang sungguh gentle. Sampai mati, ia tetap memegang senjata busurnya. Sampai saat akhir, ia masih bersama ambisi hidupnya, menaklukkan Arjuna, si seteru utamanya. Dan juga, saudaranya.
Karena bagi Karna, kesetiaannya adalah pada tekadnya untuk menjadi ahli panah nomor satu. Tidak boleh ada dua orang yang menjadi nomer satu di dunia dalam kepandaian memanah. Kesetiaan yang duduk bareng dengan rasa terima kasihnya kepada Suyudana yang pernah menjadi ‘leher’ untuk kembali mengangkat tegak kepalanya. Sehingga, ketika ia enggan turun ke medan Kurusetra demi dilihatnya Arjuna belum juga tampil, ejekan dan sindiran Suyudana yang mengungkit jasa-jasa di masa lalu diterimanya dengan panas hati. Dan ia turun gelanggang, meski dirinya tidak pernah tega membunuh prajurit-prajurit biasa Pandawa, terlebih lagi keponakannya, Gatotkaca. Sebab baginya, musuh satu-satunya hanyalah Arjuna.
Maka ketika datang waktunya ia bertarung dengan Arjuna, Pasopati milik Arjuna pun menyambit tubuhnya. Ia tewas bersamaan dengan hujan yang seketika turun. Bukan hujan biasa, karena airnya panas mendidih. Sungguh sebuah ungkapan duka yang mendalam dari kedewataan. Duka yang muncul karena mayapada telah kehilangan seorang manusia kinasih, yakni manusia yang menjaga janji dan kesetiaannya.
Konon, pertandingan ketangkasan antar murid-murid Durna akan diakhiri dengan pertunjukan kepandaian Arjuna dalam memanah. Arjuna sendirian, karena di antara bala Kurawa tidak ada yang mampu menyaingi kepandaiannya dalam memanah. Bahkan sang guru pun, konon, tidak sanggup menandingi Arjuna. Maka, jadilah pertunjukan tunggal tersebut semakin melambungkan nama satria panengah Pandawa tersebut.Tapi, adalah Karna, yang melihat pertunjukan itu dengan gusar. Ia merasa telah menjadi satria yang sepandai Arjuna. Kemampuan memanah, yang didapatkannya dari mencuri-curi pelajaran Durna kepada Arjuna dan lalu dilatihnya secara otodidak, dirasakannya telah memadai untuk melawan Arjuna. Watak pendekarnya pun memanas, tidak tahan melihat sanjungan-sanjungan yang diberikan orang kepada Arjuna.Karna adalah putra angkat dari kusir kerajaan Hastinapura, Adirata. Ia sebenarnya lahir dari Kunti juga, ibunda Pandawa, dengan ayah Batara Surya. Maka, sesungguhnya, dialah sang sulung Pandawa. Konon, saat itu Kunti ingin mengetahui khasiat mantra Aji Kunta Wekasing Rasa yang diajarkan gurunya, Begawan Druwasa. Ajian ini bila dibaca dapat menghadirkan dewa-dewa yang diinginkan oleh sang pemilik. Sehingga Kunti menggunakannya sambil membayangkan sinar matahari yang cemerlang. Batara Surya datang dan memberi Kunti seorang anak, yang kelak diberi nama Karna. Kepada Karna, kemudian Batara Surya membekali anak itu dengan anting-anting dan sebuah baju sakti yang tidak akan mampu ditembus senjata sakti apapun.Kelak, ajian sakti Kunta Wekasing Rasa ini pula yang melahirkan para Pandawa. Yudhistira lahir ketika Kunti mengundang Batara Dharma, Bima oleh restu Batara Bayu, Arjuna oleh Batara Indra dan Nakula-Sadewa atas persetujuan Batara Aswin melalui rahim Dewi Madrim, istri Pandu yang kedua.Masalahnya, tidak seperti ketika melahirkan Pandawa berlima, saat Karna harus lahir Kunti masih seorang perawan dalam pandangan masyarakat. Adakah seorang perawan layak mempunyai anak? Tentu tidak, karena itu adalah aib. Meskipun aib itu dihasilkan dari sekedar coba-coba atas sebuah keingintahuan. Meski aib itu pemberian seorang dewa sekalipun, aib tetaplah aib. Dan sekali arang tercoreng di dahi, orang tidak bakal lupa. Maka, atas saran seorang Begawan, Karna pun harus ‘dibuang’ untuk menutupi aib itu.Dan seorang kusir, Adirata, yang sejak lama menginginkan mempunyai anak, menemukan seorang bayi terhanyut di aliran sungai Yamuna. Dibesarkannya bayi itu, dinamainya Karna, dan dihantarkannya menemui pengalaman hidup bersama Kurawa dan Pandawa.Hingga, sampailah Karna pada hari itu. Dalam pertunjukan ketangkasan memanah yang melambungkan nama Arjuna. Tapi, keinginannya untuk bergaul dengan elit Pandawa dan Kurawa ternyata harus berawal dengan pahit. Arjuna menolak mentah-mentah tantangannya untuk beradu pandai. Karena, kata Arjuna, Karna hanya seorang anak kusir dari kasta sudra, kasta yang terendah. Mana mungkin seorang Sudra layak beradu kepandaian dengan seorang pangeran, hina Arjuna.
Saat itulah ia sungguh menyesali ke-Sudra-annya. Ia merutuki nasibnya. Bukankah kelahiran bukanlah sebuah pilihan baginya? Ataukah kelahiran adalah pilihannya? Mengapa ia harus dianiaya hanya karena kelahirannya? Batin Karna bergemuruh menahan amarah. Gemeretak giginya dan kepalan tangannya sanggup dilihat oleh siapapun juga di tengah lapang di mana perlombaan memanah antar murid Durna itu diselenggarakan.
Tapi, kabar gembira bagi Karna datang dari Prabu Suyudana. Begitu melihat bara kebencian dari mata Karna karena dihina Arjuna, Suyudana melihat Karna bisa diandalkan. Maka, diberinya Karna jabatan sebagai Adipati di sebuah negeri jajahan Kurawa bernama Awangga. Artinya, Karna adalah seorang ksatria dan berhak menantang Arjuna dalam lomba itu.
Bagi Karna, gelar itu adalah kegembiraan yang mengubah seluruh perjalanan hidupnya. Gelar itu telah mengangkat kembali mukanya yang semula tertekuk hina. Gelar itu membuatnya pantas bertanding dengan Arjuna, menjadikannya kelak sebagai senapati perang Kurawa di Kurusetra, yang kelak juga membuatnya terbunuh oleh Arjuna.
Sebuah kegembiraan yang bagi Karna merupakan berkah tiada tara, saat nasib hidupnya di posisi nadir terbawah.
Meskipun akhir pertandingan memanah itu tidak dapat diketahui siapa pemenangnya, Karna ataukah Arjuna, karena mereka berdua sama-sama kuat, bagi Kurawa, tidaklah penting. Mereka telah memenangkan pertempuran saat itu. Kesetiaan Karna telah mereka ikat dengan sebuah rasa malu dan harga diri yang terselamatkan.
*** *** ***
Sehingga Karna pun mengukir langit sejarah dengan sumpah setianya untuk membela Kurawa di Perang Bharatayudha nanti. Meskipun ia tahu siapa yang pantas menyandang gelar wakil kebenaran dalam perang itu, ialah Pandawa. Meskipun dengan sifat kesatrianya itu, tidaklah pantas baginya mendampingi Kurawa. Namun, Karna hanya ingin membalas budi pada orang yang pernah menolongnya. Dan terbukti, ia tahu bagaimana harus memegang janji.
Dan ia menjadi lakon cerita. Bukan hanya karena sumpah setianya kepada Kurawa, namun juga sumpahnya kepada dirinya sendiri. Ia pernah bersumpah, bahwa ia akan kabulkan setiap permintaan seorang brahmana kepadanya. Sumpah inilah yang ‘dimanfaatkan’ oleh Sang Indra dengan menyamar menjadi brahmana untuk meminta baju sakti Karna. Sebab, dengan baju sakti pemberian Dewa Surya itu, Karna kebal. Bahkan, panah sakti Pasopati Arjuna pun tidak akan dapat melukainya. Padahal, apa jadinya Bharatayuda jika Arjuna tidak dapat membunuh Karna? Apa jadinya jika malah sebaliknya?
Maka, jadilah Karna sebagai satria budiman yang menghiasi wajah Kurawa di Kurusetra. Seperti halnya Bisma, Durna dan Prabu Salya. Mereka adalah manusia-manusia kontroversial dengan pilihannya masing-masing. Karena, mungkin, mereka tahu bahwa di pangkal manapun mereka meletakkan pilihan, ujungnya tetap satu juga, takdir tetap akan terjadi. Asal saja mereka memilih dengan sebuah keyakinan yang terus terjaga.
Tapi, Karna tidaklah sama dengan Bisma dan Prabu Salya yang lantas mempersilahkan Pandawa mengetahui rahasia kematian mereka berdua. Bisma memberitahu Pandawa bahwa dirinya akan menemui ajal oleh seorang satria wanita yang membawa ruh Dewi Amba dalam dirinya, dialah Srikandi. Dan Prabu Salya bercerita kepada Nakula-Sadewa bahwa ia akan menemui ajalnya di tangan sang satria berdarah putih, Yudhistira.
Kematian, oleh Karna, dipapaknya dengan cara yang sungguh gentle. Sampai mati, ia tetap memegang senjata busurnya. Sampai saat akhir, ia masih bersama ambisi hidupnya, menaklukkan Arjuna, si seteru utamanya. Dan juga, saudaranya.
Karena bagi Karna, kesetiaannya adalah pada tekadnya untuk menjadi ahli panah nomor satu. Tidak boleh ada dua orang yang menjadi nomer satu di dunia dalam kepandaian memanah. Kesetiaan yang duduk bareng dengan rasa terima kasihnya kepada Suyudana yang pernah menjadi ‘leher’ untuk kembali mengangkat tegak kepalanya. Sehingga, ketika ia enggan turun ke medan Kurusetra demi dilihatnya Arjuna belum juga tampil, ejekan dan sindiran Suyudana yang mengungkit jasa-jasa di masa lalu diterimanya dengan panas hati. Dan ia turun gelanggang, meski dirinya tidak pernah tega membunuh prajurit-prajurit biasa Pandawa, terlebih lagi keponakannya, Gatotkaca. Sebab baginya, musuh satu-satunya hanyalah Arjuna.
Maka ketika datang waktunya ia bertarung dengan Arjuna, Pasopati milik Arjuna pun menyambit tubuhnya. Ia tewas bersamaan dengan hujan yang seketika turun. Bukan hujan biasa, karena airnya panas mendidih. Sungguh sebuah ungkapan duka yang mendalam dari kedewataan. Duka yang muncul karena mayapada telah kehilangan seorang manusia kinasih, yakni manusia yang menjaga janji dan kesetiaannya.
正在翻譯中..
