Aku mencari tau hari lahirmu, aku mau santet kamu Ma. Orang memberi nama Bagong kok terus jadi jangkrik genggong. Itu kan namanya sampean itu tidak menghargai suaramu sendiri”.
“Lho namamu siapa sebenarnya?” tanya Semar.
“Namaku Bagong . .”
“Aku panggil jangkrik genggong kok kamu nyahut? Kamu “galak lidah” ya? Kamu mau tau urusan orang, selalu iri dengki, kalau sesuatu yang lain, seharusnya disarung lebih dulu”.
“Disaring, bukan disarung . . . “ Jelas Petruk menyela.
“Aku tidak memanggil dia kok dia main nyaut saja.”
“Ya sudah kalau nggak manggil aku ya nggak apa-apa. Tapi aku kan sampeyan yang bawa, iya kan? Setelah sampeyan nggak bisa menyesuaikan diri kok aku disia-sia?!” jawab Bagong yang kemudian diam.
“Aku heran Thole”. Semar mulai mengalihkan pembicaraan.
“Heran yang bagaimana?” Petruk yang masih sabar, menjawab
“Berkali kali kalau mengikut bambangan (satria turun gunung) kok susah dimengerti. Oh mbok dadung manuk (tali penjerat burung;[kala]), kala-kala Bambangan harusnya hatinya gembira. Sebutan raksasa; [kala], kala-kala harusnya membuat hati gembira. Ketonggeng kecil; (dapat dari kata [kala]); kala-kala harusnya kita mengikut bambangan memjadikan kita gembira, nggak harus selalu mengerinyitkan dahi”. Semar menjelaskan dengan wangsalan.
Lalu kemudian melanjutkan. “Aku sampai kisruh bolehnya mengira-ira. Menafsirkan orang diam itu malah sulit. Diam karena memang wataknya atau diam karena susah. Apa juga diam karena marah, sampai susah aku menduga duga”.